Banyak hal yang dapat menjadi dasar
terjadinya pernikahan antaranya adalah atas dasar cinta dan sayang, keperluan
dalam kehidupan, keinginan untuk memiliki pasangan dan atas kerana kemampuan
untuk mendirikan rumahtangga. Dan ini adalah alasan yang sering dijadikan
alasan utama untuk dua insan melangsungkan pernikahan. Pernikahan merupakan
sebuah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena hal itu merupakan
kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
manusia. Kasarnya, pernikahan merupakan tuntutan dari hasrat seksualitas yang
dimiliki oleh setiap manusia.
Namun,
terlepas dari berbagai alasan tersebut. Islam menganjurkan beberapa syarat yang
hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Bukan
syarat adanya wali dan perangkat
pernikahan yang lainnya. Akan tetapi syarat kafa’ah atau kekcocokan dan
kesesuaian antara kedua insan yang berkasih juga berkeluarga. Mengapa harus
demikian ? pada awalnya kedua insan ini
adalah individu yang berbeda. Kemudian ingin untuk disatukan dengan tatacara
yang benar menurut syariat Islam. Kalimat ‘Individu yang berbeda’ inilah yang
kemudian menjadi syarat didalam pernikahan. Agar kelak dapat kesesuaian,
keseimbangan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan berumahtangga.
Kebahagiaan
adalah istilah umum yang selalu diidamkan oleh tiap pasangan dalam kehidupan
mereka. Namun itu semua harus di awali dengan kafa’ah, kesesuaian, kecocokan
dan kesinambungan antar pasangan sehingga segala hal yang dihadapi dapat
diselesaikan dengan baik tanpa dibumbui dengan perbedaan yang besar diantara
kedua insan. Setiap orang ingin pendampingnya adalah yang terbaik, sesuai dan
cocok dengan dirinya begitu juga dengn keluarganya. Tapi, dia tidak boleh lupa
bahawa dalam syariat ada kafa’ah yang menjadi tuntunan kita dalam mempersiapkan
perjalanan rumah tangga.
Kafa’ah
Kafa’ah
yang berasal dari bahasa arab dari kata كفئ berarti sama atau setara.
Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dlam
Al-Quran dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam al-Quran adalah dalam
surat al-Ikhlash ayat 4 :
“tidak ada
suatu pun yang sama dengan-Nya”
Kata
kufu’ atau kafa’ah dalam perkawinan mengandungi arti bahawa perempuan harus
sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah mengandungi arti sifat yang terdapat pada
perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada
laki-laki yang mengawininya.[1] Dalam
kitab fikih sunnah, makna kafa’ah ialah Al-Kafa’ah yang berarti kesetaraan dan kesepadanan. Al-Kufu’, Al-Kafa’ dan Al-Kafu’ berarti
orang yang sepadan dan sebanding. Dalam pernikahan, istilah ini berarti suami setara
dengan isteri, atau setara dalam kedudukan, status sosial, moral dan kekayaan.
Tidak diragukan, semakin dekat kesetaraan antara suami dan isteri semakin kuat
pula faktor penunjang kesuksesan kehidupan berkeluarga dan akan lebih terjaga
dari kegagalan.
Dalam
istilah fuqaha, penyetaraan di antara suami isteri yang dapat menghilangkan
rasa malu dalam perkara-perkara yang khusus. Menurut Mazhab Maliki kesetaraan
adalah dalam agama dan kondisi yaitu keselamatan dari cacat yang membuatnya
memiliki pilihan. Menurut jumhur fuqaha adalah agama, nasab, kemerdekaan , dan
profesi. Dan ditambahkan oleh Mazhab Hanafi dan Hambali dengan kemakmuran dari
segi uang. Yang dituju hal ini adalah terwujudnya persamaan dalam perkara
sosial demi memenuhi kestabilan dalam
kehidupan suami isteri. Serta mewujudkan kebahagian di antara suami isteri.
Yang tidak membuat malu si perempuan
atau walinya dengan perkahwinan sesuai tradisi.[2]
Kedudukan Syarat Kafa’ah
Kafaah itu disyariatkan atau diatur dalam
perkawinan Islam. Namun kerana dalil yang mengaturnya tidak ada yang jelas dan
spesifik baik dalam al-Quran mahupun hadis Nabi. Maka kafa’ah menjadi
pembicaraan dalam kalangan ulama fuqaha baik mengenai kedudukannya dalam
perkawinan maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan kafaah. Penentuan
kafa’ah itu merupakan hak perempuan yang akan kawin sehingga bila dia akan
dikawinkan oleh walinya dengan orang yang tidk sekufu dengannya dia dapat
menolak atau tidak memberikan izin untuk dikawinkan oleh walinya. Sebaliknya
dapat puladikatakan sebagai hak wali yang akan menikahkan sehingga bila si anak
perempuan kawin dengan laki-laki yang tidak sekufu. Wali dapat
mengintervensinya yang untuk selanjutnya menuntut pencegahan berlangsungnya
perkawinan itu.
Dalam
hal kedudukan syarat, ada dua pendapat fuqaha dalam persyaratan kafa’ah.
Pendapat pertama, sebagian dari mereka seperti ats-Tsauri, Hasan al-Basri, dan
al-Kurkhi dari mazhab Hanafi menilai bahwa sesungguhnya kafa’ah sebenarnya
bukan suatu syarat. Bukannya syarat sahnya perkawinan juga bukan syarat
kelaziman. Maka perkawinan sah dan lazim, tanpa mempedulikan apakah si suami
setara dengan isteri maupun tidak. Mereka berdalil dengan dalil dari Saba Nabi
saw :
الناس سوا سية كأسنان المشط . لا فضل لعربي
على عجمي . إنما الفضل بالتقوى .
“Semua
Manusia sama bagaikan gigi sisir, maka orang Arab tidak lebih utama
dibandingkan orang Asing. Sesungguhnya keutamaan adalah ketaqwaan”
Hadis
ini menunjukkan persamaan mutlak dan tidak disyaratkan adanya kesetaraan. Juga
menjadi dalilnya adalah firman Allah swt :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu”
Dalil
ini dijawab, manusia sama dalam hak-hak dan kewajiban. Mereka tidak saling
lebih utama kecuali dengan ketakwaan. Sedangkan selain ketakwaan yang berdasarkan
penilaian keperibadian yang berlandaskan tradisi dan adat manusia. Maka pasti
manusia saling memiliki perbedaan.
Pendapat kedua, yaitu pendapat dari jumhur fuqaha
termasuk di antara mereka adalah empat mazhab. Mereka berpendapat bahawa kafaah
merupakan syarat lazimnya perkawinan dan bukannya syarat sahnya perkawinan.
Berdasarkan dalil tersebut yang terdiri dari hadis dan dalil ma’qul. Hadis dari
Ali bahwa Nabi saw berkata kepadanya :
ثلاث لا تؤخر , الصلاة إذا أتت , والجنازة إذا حضرت , و الأيم إذا
وجد ت كفؤا لها
“tiga perkara yang tidak boleh ditangguhkan yaitu solat
jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah datang dan perempuan yang belum
menikah jika mendapati orang yang setara dengannya”
Syafi’i berpendapat, asal kafaah dalam pernikahan adalah
hadis Buraidah. Nabi saw telah menyerahkan pilihan kepadanya karena suaminya
tidak setara dengannya setelah di merdeka. Dalil ma’qul yaitu terbinanya
maslahat antara suami isteri biasanya tidak terjadi kecuali jika ada kesetaraan
diantara keduanya karena perempuan bangsawan merasa enggan untuk hidup dengan
rakyat jelata. Oleh karena itu mesti ada unsur kafa’ah dari pihak laki-laki
bukannya dari pihak perempuan karena biasanya suami tidak terpengaruh dengan
kesetaraan.
Menurut penulis, yang rajih itu adalah dari pendapat
Imam Malik mengenai persoalan ini yaitu
dianggap kesetaraan itu hanyalah pada masalah agama dan kondisi saja. Maksunya
selamat dari aib yang membuat perempuan memiliki hak untuk memilih dalam
perkawinan.
Dalam menentukan apakah kafaah adalah syarat sah atau syarat lazim ialah,
para fuqaha empat mazhab dalam pendapat yang rajih mazhab Hambali dan menurut
pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Maliki serta menurut pendapat yang paling
zahir dalam mazhab Syafi’i bahwa kafa’ah adalah syarat lazim dalam perkawinan
bukan syarat sahnya sebuah akad perkawinan. Seandainya kafa’ah adalah syarat
sahnya pernikahan, pernikahan pasti tidak sah tanpanya. Walaupun para wali
telah menanggalkan hak mereka untuk merasa keberatan karena syarat untuk
mensahkan tidak jatuh dengan penanggalan.
Menurut Imam Hanafi, kafa’ah adalah termasuk syarat
kelaziman. Akan tetapi, yang difatwakan oleh para fuqaha muta’akhirin
(belakangan) bahwa kafa’ah adalah syarat sahnya bagi perkawinan dalam sebagian
kondisi dan syarat kelazimannya dalam beberapa kondisi. Sedangkan kondisi yang menjadikan kafa’ah sebagai
syarat sahnya perkawinan adalah jika seorang bapak atau anak laki-laki yang
dikenal buruk memilih dan mengawinkan seorang perempuan yang tidak memiliki
kemampuan atau kurang kemampuan dengan seorang laki-laki yang tidak setara atau
dengan tipuan yang besar maka fuqaha menganggap bahwa perkawinan itu tidak sah.
Begitu juga halnya dalam keadaan mabuk, maka dia kawinkan seorang perempuan
dengan orang fasik atau orang jahat atau orang miskin atau orang yang memiliki
profesi yang rendah karena timbulnya
pilihan yang buruk serta tidak adanya maslahatnya perkawinan ini. Dan kondisi yang
mejadikan pernikahan itu suatu syarat lazim menurut Imam Hanafi ialah, yang
menjadi wali untuk mengawinkan anak kecil laki-laki dan anak kecil perempuan
adalah bapak dan kakek. Sedangkan selain keduanya seperti saudara laki-laki dan
paman dari pihak bapak. Jika dia kawinkan anak kecil maka perkawinan ini tidak
menjadi lazim menurut Bau Hanifah dan Muhammad dan mereka memiliki hak untuk
memilih setelah baligh. Abu Yusuf berkata, “Pernikahan yang dilakukan wali yang
selain bapak dan kakek menjadi lazim. Maka anak kecil tidak berhak untuk
memilih setelah baligh”.
Dalam pembahasan orang yang mempunyai hak dalam
kesetaraan, para fuqaha sepakat bahawa kafa’ah merupakan hak perempuan dan para
walinya. Jika seorang perempuan kawin dengan orang yang tidak setara, maka wali
berhak untuk membatalkan perkawinan. Manakala kalau walinya mengawinkannya
dengan orang yang tidak setara dengannya. Maka perempuan itu juga memiliki hak
untuk membatalkan perkawinan karena ini adalah suatu pilihan akibat kekurangan
yang dimiliki oleh orang yang dilakukan akad kepadanya. Jumhur fuqaha juga menilai bahwa kafa’ah dituntut oleh
perempuan dan bukannya laki-laki. Dengan arti, sesungguhnya kafa’ah dianggap di pihak laki-laki bukannya di pihak
perempuan. Ini adalah hak untuk kepentingan laki-laki’ disyaratkan lak-laki
harus sebanding dengan perempuan atau mendekati tingkatannya. Sedangkan
perempuan tidak disyaratkan sebanding dengan laki-laki atau mendekati
tingkatannya. Bahkan sah perempuan lebih rendah darinya dalam
berbagai kafa’ah karena laki-laki tidak memandang rendah seorang isteri yang
tingkatan yang lebih rendah darinya.[3]
Kriteria Kafa’ah Menurut Imam Empat Mazhab
Dalam
kriteria yang digunakan untuk menentukan kafa’ah, para fuqaha berselisih
pendapat mengenai sifat-sifat kafaah. Menurut Imam Malik, sifat kafa’ah ada dua
yaitu agama dan kondisi yang maksudnya selamat dari aib yang dapat menyebabkan
timbulnya pilihan dan bukan dari kondisi dalam aarti kehormatan dan nasab.
Manakala Imam Hanafi menyenaraikan sifat kafa’ah itu ada enam yaitu agama,
Islam, kemerdekaan, nasab, harta dan profesi. Menurut mereka, kafa’ah tidak
terletak pada keselamatan dari aib yang membatalkan jual beli seperti gila,
kusta, dan mulut yang berbau. Menurut Muhammad hanya pada tiga aib yang
pertama.
Menurut
Imam Syafi’i pula ada enam sifat kafa’ah yaitu agama, kesucian, kemerdekaan,
nasab, profesi dan terbebas dari aib yang dapat menimbulkan pilihan. Menurut
pendapat Imam Hambali sifat kafa’ah juga ada lima yaitu agama, profesi, nasab,
kemakmuran harta dan profesi. Mereka sepakat atas kafa’ah dalam agama. Dan
mazhab yang selain maliki sepakat kafa’ah dalam kemerdekaan, nasab, dan
profesi. Imam Malik dan Imam Syafi’i bersepakat mengenai sifat dari bebas aib
yang menyebabkan timbulnya hak untuk memilih.[4]
Imam
Hanafi dalam zhahir riwayat sepakat dengan Imam Hambali mengenai sifat harta.
Mazhab Hanafi mempunyai pendapat tersendiri dalam mengenai sifat Islam secara
keturunan. Para ulama Hanabilah menyenaraikan sifat kafa’ah itu menjadi lima
yaitu kualitas keberagamaan, profesi, harta, kemerdekaan diri dan kebangsawanan.[5]
Aib-aib Yang Mengkibatkan Khiyar Dalam Pernikahan
Hal-hal
yang menyebabkan hak khiyar ada empat macam cacat, ulama berselisih pendapat tentang hal yang menyebabkan khiyar
dalam nikah karena adanya cacat pada masing-masing suami dan isteri. Imam Malik
dan Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa cacat-cacat itu
menyebabkan adanya hak khiyar untuk menolak perkawinan atau tetap memegang
isteri. Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa cacat tidak mengakibatkan khiyaar baik
khiyar untuk menolak perkawinan atau khiyar tetap memegang isteri. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh Umar bin Abdul Aziz.
Imam Malik dan Imam Syafi’I sependapat bahwa penolakan
dapat terjadi karena empat macam cacat yaitu gila, lepra, kusta dan penyakit
kelamin yang menhalangi jimak dan adakalanya tumbuh tulang atau daging bagi
orang perempuan, impoten atau terpotong penisnya bagi orang lelaki. Di kalangan ulama Maliki
diperselisihkan tentang empat hal yaitu sakit gigi, rontok rambut, mulut berbau
busuk, dan kelamin berbau busuk. Menurut salah satu pendapat, dikatakan bahwa
perempuan tidak ditolak karena cacat-cacat tersebut sedangkan menurut pendapat
lain ditolak. Abu Hanifah bersama para
pengikutnya dan ats-Tsauri berpendapat bahawa orang perempuan tidak dapat
ditolak dalam pernikahan kecuali karena dua cacat saja yaitu tumbuh tulang dan
daging.
Bagi fuqaha yang berpendapat, bahwa perkahwinan orang
yang impoten dapat dibatalkan sepakat bahwa pembatalan tersebut baru dilakukan
setahun kemudian dimana keduanya yaitu suami dan isteri itu dapat bergaul tanpa
halangan apa pun. Para ulama Maliki berselisih pendapat tentang alasan dibatasi
penolakan isteri kepada empat macam cacat tersebut merupakan suatu aturan yang
tidak dapat dicarikan alasannya. Pendapat lain juga mengatakan bahwa pembatasan
tersebut karena cacat-cacat tersebut termasuk hal yang transparan, sedang cacat
lainnya tidak transparan. Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa
pembatasan tersebut karena cacat itu dikhawatirkan akan menular kepada anak
keturunan. Berdasarkan alasan terakhir ini, cacat karen sakit gigi atau rontok
rambut ditolak. Dan berdasarkan alasan pertama semua cacat yang diketahui termasuk cacat yang tidak transparan bagi
suami isteri ditolak.[6]
Hikmah Dalam Kafa’ah
Hikmahnya didalam kafa’ah ini
adalah salah satunya yaitu Kunci kebahagiaan hidup suami isteri dan lebih
menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan dan kegoncangan rumah tangga.
Dalam hisup berumah tangga kita sendiri harus merasa nyaman bersama pasangan
yang halal. Selain dari itu juga menjaga kehormatannya si perempuan agar tidak
malu dengan pasangannya. Kesetaraan yang dibahas oleh para fuqaha empat mazhab
itu sendiri yaitu nasab, profesi, agama dan kondisi yaitu bebas dari cacat yang
menyebabkan khiyar, Islam, kemerdekaan, dan harta itu telah menjadi garis
panduan untuk kita sebagai umat untuk mengikuti. Terkadang apa yang bisa kita
lihat pada masa zaman sekarang. Ada yang menggunakan unsur kafa’ah ini
diterapkan dalam kehidupan seharian. Sebagai contoh golongan bangsawan, kadang
pihak perempuan malu untuk menikah dengan orang biasa. Jadi dapat kita ambil
hikmahnya di sini ialah kafa’ah itu bisa menyelamatkan dari malunya seorang
perempuan itu untuk menikah dengan orang biasa dan golongan bangsawan ini bisa
menjaga nasab keturunan mereka. Selalunya golongan bangsawan ini lebih menjaga
nasab disbanding dengan orang biasa.
Akan tetapi, yang palin utama
adalah untuk menjaga terutama dalm unsur umur dan wawasan. Ini adalah karena
keberadaannya lebih mewujudkan keharmonisan dan kelanggengan diantara suami
isteri. Ketidakberadaan keduanya dapat
menimbulkan kekacauan dan perselisihan yang berpanjangn akibat adanya
perselisihan sudut pandang, penilaian berbagai perkara dan membahagiakan kedua
belah pihak khususnya.
Menjawab Persoalan
Permasalahan
1. Apakah anak hasil zina masuk
dalam unsur kafa’ah ?
Jawapan : Anak hasil zina bisa
dikaitkan dengan kriteria kafa’ah dalam bentuk nasab. Yang dimaksudkan dengan
nasab menurut Imam Hanafi itu ialah hubungan manusia dengan asal-usulnya dari
bapak dan kakeknya. Walaupun pada logikanya, anak hasil zina ini selalu tidak
diakui oleh pelakunya. Akan tetapi anak hasil zina ini masuk dalam unsur
kafa’ah karena ada unsur yang terkait dengan nasab.
2. Apakah ada kriteria lain
dalam kriteria enam itu?
Jawapan : Tidak ada kriteria lain
karena Para Fuqaha Empat Mazhab telah membatasi kriteria-kriteria yang telah
ditetapkan oleh mereka.
3. Kafa’ah itu dianjurkan dalam
perkawinan apa saja?
Jawapan : Pada pendapat saya, kafa’ah itu
dianjurkan dalam setiap semua perkahwinan. Ini adalah karena, dalam konsep
kafa’ah ini juga penting dalam menjaga keharmonisan rumahtangga diantara suami
dan istri. Sedangkan dalam undang-undang juga menyenaraikan kafa’ah sebagai hal
untuk mengukur pasangan suami isteri
4. Bagaimanakah perkawinan
wanita cantik dan laki-laki tua. Apakah masih bisa dipilih?
Jawapan : masih boleh dipilih. ini
adalah kesetaraan itu hak milik si perempuan dan hak wali untuk memilih dan
ianya juga harus berbalik kepada wali mujbir si perempuan itu sendiri.
Pernikahan itu bisa jadi apabila adanya kerelaan diantara perempuan dan wali
itu sendiri.
5. Apakah dasar hukum kafa’ah ?
Jawapan : Kafaah itu disyariatkan atau diatur dalam
perkawinan Islam. Namun kerana dalil yang mengaturnya tidak ada yang jelas dan
spesifik baik dalam al-Quran mahupun hadis Nabi. Maka kafa’ah menjadi
pembicaraan dalam kalangan ulama fuqaha baik mengenai kedudukannya dalam
perkawinan maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan kafaah.
6. Apakah kafaah bisa menggugurkan khitbah
?
Jawapan : Ya. Kafa’ah juga bisa menggugurkan
khitbah jika syarat dari kriteria itu tidak terpenuhi. Bagi orang yang
menggunakan kriteria kafa’ah tersebut untuk memilih pasangan hidup dan jika ada
unsur penipuan didalam khitbah itu maka khitbah itu bisa saja gugur. Sebagai
contoh, si laki-laki itu mengatakan dia seorang yang kaya dan berpendidikan
bagus akan tetapi yang sebenarnya tidak ada pada laki-laki dan ketahuan oleh si
perempuan atau si wali yang laki-laki itu berbohong maka dengan sendirinya
gugur khitbah tersebut.
7. Jika seorang Sharifah menikah dengan
orang biasa. Bagaimanakah kedudukan syarat menurut jumhur ulama ?
Jawapan : Jumhur Ulama menetapkan kriteria kafa’ah
dari kedudukan nasab. Dalam masalah ini, jika si wali redha ataupun si
perempuan itu redha maka tidak menjadi masalah untuk seorang yang bergelar
sharifah menikah dengan orang biasa.
8. Untuk mengetahui penyakit itu apakah sesudah
nikah atau sebelum nikah?
Jawapan : Menurut pemahaman saya, untuk mengetahui
sesuatu penyakit itu bisa saja sebelum dan selepas nikah. Jika hal penyakit itu
tidak bisa terlihat sebelum nikah, bisa saja sesudah nikah. Dan apabila sudah
diketahui penyakitnya dalam sesudah nikah. Adalah menjadi keputusan
masing-masing untuk meneruskan perkawinan tersebut atau tidak.
Kesimpulan
Kafa’ah hanya dinilai pada saat akad nikah berlangsung
dan jika ada sebagian sifat yang berbeda setelah akad nikah. Hal tersebut tidak
menjadi masalah dan sedikitpun tidak mengubah kenyataan dan tidak mempenagruhi
akad nikah. Karena syarat-syarat nikah berlaku pada saat akad nikah. Misalnya
ketika akad nikah si lelaki memiliki pekerjaan bagus, mampu memberi nafkah atau
shalih. Tapi keadaannya berubah setelah itu dan pekerjaannya kurang bags, tidak
mampu memberi nafkah atau berbuat fasik setelah menikah. Maka akad nikah tetap
berlaku seperti sedia kala.[9]
Yang dijadikan standar dalam penentuan kafa’ah itu adalah
status sosial pihak perempuan karena dialah yang akan dipinang oleh laki-laki
untuk dikawini. Laki-laki yang akan mengawini paling tidak harus sama dengan
perempuan. Seandainya lebih tidak menjadi halangan dan seandainya pihak isteri
dapat menerima kekurangan laki-laki tidak menjadi masalah. Masalah timbul kalau
laki-laki kurang status sosialnya sehingga dikatakan laki-laki tidak sekufu
dengan isteri.
Menurut agama, pernikahan yang telah sempurna menimbulkan
hak-hak hubungan suami isteri, seperti setubuh, kewajipan memberikan nafkah,
hak saling mewarisi, dan hukum-hukum lainnya. Menurut agama dikatakan bahwa
pernikahan seprti ini hanya dapat diputuskan dengan talak atau kematian. Barangsiapa
yang beranggapan boleh memutuskan hubungan pernikahan dengan alasan selain ini,
haruslah menunjukkan alasan-alasan yang sah dan dapat dijadikan pegangan di
luar ketentuan agama tersebut.[10]
1. Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, diterbitkan oleh Pena
Pundi Aksara, Cetakan Pertama Maret, Tahun 2006.
2. Sulaiman bin Ahmad bin Yahya al-Faifi, “Ringkasan
Fikih Sunnah” , diterbitkan Oleh Beirut Publishing, Cetakan Pertama , Tahun
2014.
3. Prof. Dr. Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia” , diterbit oleh Kencana Prenamedia Group, cetakan ke-5 Tahun 2014.
4. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa
Adillatuhu”, diterbit oleh Gema Insani dan Darul Fikir, cetakan pertama Juni ,
Tahun 2011.
5. Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad
Ibu Rusyd, “Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid” diterbit oleh
Pustaka Amani, Jakarta, Cetakan ke-III Februari , Tahun 2007 M.
[1] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, “Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia” , diterbit oleh Kencana Prenamedia Group,
cetakan ke-5 Tahun 2014.
[2]
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili,
“Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, diterbit oleh Gema Insani dan Darul Fikir, cetakan
pertama Juni , Tahun 2011.
[3] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih
Islam Wa Adillatuhu”, diterbit oleh Gema Insani dan Darul Fikir, cetakan
pertama Juni , Tahun 2011.
[4] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih
Islam Wa Adillatuhu”, diterbit oleh Gema Insani dan Darul Fikir, cetakan
pertama Juni , Tahun 2011.
[5] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, “Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia” , diterbit oleh Kencana Prenamedia Group,
cetakan ke-5 Tahun 2014.
[6] Al-Faqih
Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibu Rusyd, “Bidayatul Mujtahid
Analisa Fiqih Para Mujtahid” diterbit oleh Pustaka Amani, Jakarta, Cetakan
ke-III Februari , Tahun 2007 M.
[7] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, “Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia” , diterbit oleh Kencana Prenamedia Group, cetakan
ke-5 Tahun 2014.
[8] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih
Islam Wa Adillatuhu”, diterbit oleh Gema Insani dan Darul Fikir, cetakan
pertama Juni , Tahun 2011.
[9] Sulaiman bin Ahmad bin Yahya
al-Faifi, “Ringkasan Fikih Sunnah” , diterbitkan Oleh Beirut Publishing,
Cetakan Pertama , Tahun 2014.
[10] Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”,
diterbitkan oleh Pena Pundi Aksara, Cetakan Pertama Maret, Tahun 2006.
Maliana Binti Rajalan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, Indonesia
Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
Fakultas Syariah
No comments:
Post a Comment