Wednesday, February 22, 2017

Kesetaraan @ Kafa'ah (Munakahat)


              Banyak hal yang dapat menjadi dasar terjadinya pernikahan antaranya adalah atas dasar cinta dan sayang, keperluan dalam kehidupan, keinginan untuk memiliki pasangan dan atas kerana kemampuan untuk mendirikan rumahtangga. Dan ini adalah alasan yang sering dijadikan alasan utama untuk dua insan melangsungkan pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena hal itu merupakan kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kasarnya, pernikahan merupakan tuntutan dari hasrat seksualitas yang dimiliki oleh setiap manusia.
            Namun, terlepas dari berbagai alasan tersebut. Islam menganjurkan beberapa syarat yang hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Bukan syarat  adanya wali dan perangkat pernikahan yang lainnya. Akan tetapi syarat kafa’ah atau kekcocokan dan kesesuaian antara kedua insan yang berkasih juga berkeluarga. Mengapa harus demikian ? pada awalnya kedua insan  ini adalah individu yang berbeda. Kemudian ingin untuk disatukan dengan tatacara yang benar menurut syariat Islam. Kalimat ‘Individu yang berbeda’ inilah yang kemudian menjadi syarat didalam pernikahan. Agar kelak dapat kesesuaian, keseimbangan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan berumahtangga.

            Kebahagiaan adalah istilah umum yang selalu diidamkan oleh tiap pasangan dalam kehidupan mereka. Namun itu semua harus di awali dengan kafa’ah, kesesuaian, kecocokan dan kesinambungan antar pasangan sehingga segala hal yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik tanpa dibumbui dengan perbedaan yang besar diantara kedua insan. Setiap orang ingin pendampingnya adalah yang terbaik, sesuai dan cocok dengan dirinya begitu juga dengn keluarganya. Tapi, dia tidak boleh lupa bahawa dalam syariat ada kafa’ah yang menjadi tuntunan kita dalam mempersiapkan perjalanan rumah tangga.

 Kafa’ah

            Kafa’ah yang berasal dari bahasa arab dari kata كفئ berarti sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dlam Al-Quran dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam al-Quran adalah dalam surat al-Ikhlash ayat 4 :

“tidak ada suatu pun yang sama dengan-Nya”

            Kata kufu’ atau kafa’ah dalam perkawinan mengandungi arti bahawa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah  mengandungi arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya.[1] Dalam kitab fikih sunnah, makna kafa’ah ialah Al-Kafa’ah yang berarti kesetaraan dan kesepadanan. Al-Kufu’, Al-Kafa’ dan Al-Kafu’ berarti orang yang sepadan dan sebanding.  Dalam pernikahan, istilah ini berarti suami setara dengan isteri, atau setara dalam kedudukan, status sosial, moral dan kekayaan. Tidak diragukan, semakin dekat kesetaraan antara suami dan isteri semakin kuat pula faktor penunjang kesuksesan kehidupan berkeluarga dan akan lebih terjaga dari kegagalan.

            Dalam istilah fuqaha, penyetaraan di antara suami isteri yang dapat menghilangkan rasa malu dalam perkara-perkara yang khusus. Menurut Mazhab Maliki kesetaraan adalah dalam agama dan kondisi yaitu keselamatan dari cacat yang membuatnya memiliki pilihan. Menurut jumhur fuqaha adalah agama, nasab, kemerdekaan , dan profesi. Dan ditambahkan oleh Mazhab Hanafi dan Hambali dengan kemakmuran dari segi uang. Yang dituju hal ini adalah terwujudnya persamaan dalam perkara sosial  demi memenuhi kestabilan dalam kehidupan suami isteri. Serta mewujudkan kebahagian di antara suami isteri. Yang tidak membuat malu  si perempuan atau walinya dengan perkahwinan sesuai tradisi.[2]

 Kedudukan Syarat Kafa’ah

            Kafaah itu disyariatkan atau diatur dalam perkawinan Islam. Namun kerana dalil yang mengaturnya tidak ada yang jelas dan spesifik baik dalam al-Quran mahupun hadis Nabi. Maka kafa’ah menjadi pembicaraan dalam kalangan ulama fuqaha baik mengenai kedudukannya dalam perkawinan maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan kafaah. Penentuan kafa’ah itu merupakan hak perempuan yang akan kawin sehingga bila dia akan dikawinkan oleh walinya dengan orang yang tidk sekufu dengannya dia dapat menolak atau tidak memberikan izin untuk dikawinkan oleh walinya. Sebaliknya dapat puladikatakan sebagai hak wali yang akan menikahkan sehingga bila si anak perempuan kawin dengan laki-laki yang tidak sekufu. Wali dapat mengintervensinya yang untuk selanjutnya menuntut pencegahan berlangsungnya perkawinan itu.

            Dalam hal kedudukan syarat, ada dua pendapat fuqaha dalam persyaratan kafa’ah. Pendapat pertama, sebagian dari mereka seperti ats-Tsauri, Hasan al-Basri, dan al-Kurkhi dari mazhab Hanafi menilai bahwa sesungguhnya kafa’ah sebenarnya bukan suatu syarat. Bukannya syarat sahnya perkawinan juga bukan syarat kelaziman. Maka perkawinan sah dan lazim, tanpa mempedulikan apakah si suami setara dengan isteri maupun tidak. Mereka berdalil dengan dalil dari Saba Nabi saw :

الناس سوا سية كأسنان المشط . لا فضل لعربي على عجمي . إنما الفضل بالتقوى .
“Semua Manusia sama bagaikan gigi sisir, maka orang Arab tidak lebih utama dibandingkan orang Asing. Sesungguhnya keutamaan adalah ketaqwaan”

            Hadis ini menunjukkan persamaan mutlak dan tidak disyaratkan adanya kesetaraan. Juga menjadi dalilnya adalah firman Allah swt :

 إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu”

            Dalil ini dijawab, manusia sama dalam hak-hak dan kewajiban. Mereka tidak saling lebih utama kecuali dengan ketakwaan. Sedangkan selain ketakwaan yang berdasarkan penilaian keperibadian yang berlandaskan tradisi dan adat manusia. Maka pasti manusia saling memiliki perbedaan.

Pendapat kedua, yaitu pendapat dari jumhur fuqaha termasuk di antara mereka adalah empat mazhab. Mereka berpendapat bahawa kafaah merupakan syarat lazimnya perkawinan dan bukannya syarat sahnya perkawinan. Berdasarkan dalil tersebut yang terdiri dari hadis dan dalil ma’qul. Hadis dari Ali bahwa Nabi saw berkata kepadanya :

ثلاث لا تؤخر , الصلاة إذا أتت , والجنازة إذا حضرت , و الأيم إذا وجد ت كفؤا لها
tiga perkara yang tidak boleh ditangguhkan yaitu solat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah datang dan perempuan yang belum menikah jika mendapati orang yang setara dengannya”

Syafi’i berpendapat, asal kafaah dalam pernikahan adalah hadis Buraidah. Nabi saw telah menyerahkan pilihan kepadanya karena suaminya tidak setara dengannya setelah di merdeka. Dalil ma’qul yaitu terbinanya maslahat antara suami isteri biasanya tidak terjadi kecuali jika ada kesetaraan diantara keduanya karena perempuan bangsawan merasa enggan untuk hidup dengan rakyat jelata. Oleh karena itu mesti ada unsur kafa’ah dari pihak laki-laki bukannya dari pihak perempuan karena biasanya suami tidak terpengaruh dengan kesetaraan.

Menurut penulis, yang rajih itu adalah dari pendapat Imam Malik mengenai persoalan ini  yaitu dianggap kesetaraan itu hanyalah pada masalah agama dan kondisi saja. Maksunya selamat dari aib yang membuat perempuan memiliki hak untuk memilih dalam perkawinan.

Dalam menentukan apakah kafaah  adalah syarat sah atau syarat lazim ialah, para fuqaha empat mazhab dalam pendapat yang rajih mazhab Hambali dan menurut pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Maliki serta menurut pendapat yang paling zahir dalam mazhab Syafi’i bahwa kafa’ah adalah syarat lazim dalam perkawinan bukan syarat sahnya sebuah akad perkawinan. Seandainya kafa’ah adalah syarat sahnya pernikahan, pernikahan pasti tidak sah tanpanya. Walaupun para wali telah menanggalkan hak mereka untuk merasa keberatan karena syarat untuk mensahkan tidak jatuh dengan penanggalan.

Menurut Imam Hanafi, kafa’ah adalah termasuk syarat kelaziman. Akan tetapi, yang difatwakan oleh para fuqaha muta’akhirin (belakangan) bahwa kafa’ah adalah syarat sahnya bagi perkawinan dalam sebagian kondisi dan syarat kelazimannya dalam beberapa kondisi. Sedangkan kondisi yang menjadikan kafa’ah sebagai syarat sahnya perkawinan adalah jika seorang bapak atau anak laki-laki yang dikenal buruk memilih dan mengawinkan seorang perempuan yang tidak memiliki kemampuan atau kurang kemampuan dengan seorang laki-laki yang tidak setara atau dengan tipuan yang besar maka fuqaha menganggap bahwa perkawinan itu tidak sah. Begitu juga halnya dalam keadaan mabuk, maka dia kawinkan seorang perempuan dengan orang fasik atau orang jahat atau orang miskin atau orang yang memiliki profesi  yang rendah karena timbulnya pilihan yang buruk serta tidak adanya maslahatnya perkawinan ini. Dan kondisi yang mejadikan pernikahan itu suatu syarat lazim menurut Imam Hanafi ialah, yang menjadi wali untuk mengawinkan anak kecil laki-laki dan anak kecil perempuan adalah bapak dan kakek. Sedangkan selain keduanya seperti saudara laki-laki dan paman dari pihak bapak. Jika dia kawinkan anak kecil maka perkawinan ini tidak menjadi lazim menurut Bau Hanifah dan Muhammad dan mereka memiliki hak untuk memilih setelah baligh. Abu Yusuf berkata, “Pernikahan yang dilakukan wali yang selain bapak dan kakek menjadi lazim. Maka anak kecil tidak berhak untuk memilih setelah baligh”.

Dalam pembahasan orang yang mempunyai hak dalam kesetaraan, para fuqaha sepakat bahawa kafa’ah merupakan hak perempuan dan para walinya. Jika seorang perempuan kawin dengan orang yang tidak setara, maka wali berhak untuk membatalkan perkawinan. Manakala kalau walinya mengawinkannya dengan orang yang tidak setara dengannya. Maka perempuan itu juga memiliki hak untuk membatalkan perkawinan karena ini adalah suatu pilihan akibat kekurangan yang dimiliki oleh orang yang dilakukan akad kepadanya. Jumhur fuqaha juga menilai bahwa kafa’ah dituntut oleh perempuan dan bukannya laki-laki. Dengan arti, sesungguhnya kafa’ah  dianggap di pihak laki-laki bukannya di pihak perempuan. Ini adalah hak untuk kepentingan laki-laki’ disyaratkan lak-laki harus sebanding dengan perempuan atau mendekati tingkatannya. Sedangkan perempuan tidak disyaratkan sebanding dengan laki-laki atau mendekati tingkatannya. Bahkan sah perempuan lebih rendah darinya dalam berbagai kafa’ah karena laki-laki tidak memandang rendah seorang isteri yang tingkatan yang lebih rendah darinya.[3]

 Kriteria Kafa’ah Menurut Imam Empat Mazhab

            Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafa’ah, para fuqaha berselisih pendapat mengenai sifat-sifat kafaah. Menurut Imam Malik, sifat kafa’ah ada dua yaitu agama dan kondisi yang maksudnya selamat dari aib yang dapat menyebabkan timbulnya pilihan dan bukan dari kondisi dalam aarti kehormatan dan nasab. Manakala Imam Hanafi menyenaraikan sifat kafa’ah itu ada enam yaitu agama, Islam, kemerdekaan, nasab, harta dan profesi. Menurut mereka, kafa’ah tidak terletak pada keselamatan dari aib yang membatalkan jual beli seperti gila, kusta, dan mulut yang berbau. Menurut Muhammad hanya pada tiga aib yang pertama.

            Menurut Imam Syafi’i pula ada enam sifat kafa’ah yaitu agama, kesucian, kemerdekaan, nasab, profesi dan terbebas dari aib yang dapat menimbulkan pilihan. Menurut pendapat Imam Hambali sifat kafa’ah juga ada lima yaitu agama, profesi, nasab, kemakmuran harta dan profesi. Mereka sepakat atas kafa’ah dalam agama. Dan mazhab yang selain maliki sepakat kafa’ah dalam kemerdekaan, nasab, dan profesi. Imam Malik dan Imam Syafi’i bersepakat mengenai sifat dari bebas aib yang menyebabkan timbulnya hak untuk memilih.[4]

            Imam Hanafi dalam zhahir riwayat sepakat dengan Imam Hambali mengenai sifat harta. Mazhab Hanafi mempunyai pendapat tersendiri dalam mengenai sifat Islam secara keturunan. Para ulama Hanabilah menyenaraikan sifat kafa’ah itu menjadi lima yaitu kualitas keberagamaan, profesi, harta, kemerdekaan diri dan kebangsawanan.[5]

 Aib-aib Yang Mengkibatkan Khiyar Dalam Pernikahan

            Hal-hal yang menyebabkan hak khiyar ada empat macam cacat, ulama berselisih pendapat tentang hal yang menyebabkan khiyar dalam nikah karena adanya cacat pada masing-masing suami dan isteri. Imam Malik dan Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa cacat-cacat itu menyebabkan adanya hak khiyar untuk menolak perkawinan atau tetap memegang isteri. Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa cacat tidak mengakibatkan khiyaar baik khiyar untuk menolak perkawinan atau khiyar tetap memegang isteri. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Umar bin Abdul Aziz.
Imam Malik dan Imam Syafi’I sependapat bahwa penolakan dapat terjadi karena empat macam cacat yaitu gila, lepra, kusta dan penyakit kelamin yang menhalangi jimak dan adakalanya tumbuh tulang atau daging bagi orang perempuan, impoten atau terpotong penisnya bagi orang lelaki. Di kalangan ulama Maliki diperselisihkan tentang empat hal yaitu sakit gigi, rontok rambut, mulut berbau busuk, dan kelamin berbau busuk. Menurut salah satu pendapat, dikatakan bahwa perempuan tidak ditolak karena cacat-cacat tersebut sedangkan menurut pendapat lain ditolak. Abu Hanifah bersama para pengikutnya dan ats-Tsauri berpendapat bahawa orang perempuan tidak dapat ditolak dalam pernikahan kecuali karena dua cacat saja yaitu tumbuh tulang dan daging.

Bagi fuqaha yang berpendapat, bahwa perkahwinan orang yang impoten dapat dibatalkan sepakat bahwa pembatalan tersebut baru dilakukan setahun kemudian dimana keduanya yaitu suami dan isteri itu dapat bergaul tanpa halangan apa pun. Para ulama Maliki berselisih pendapat tentang alasan dibatasi penolakan isteri kepada empat macam cacat tersebut merupakan suatu aturan yang tidak dapat dicarikan alasannya. Pendapat lain juga mengatakan bahwa pembatasan tersebut karena cacat-cacat tersebut termasuk hal yang transparan, sedang cacat lainnya tidak transparan. Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa pembatasan tersebut karena cacat itu dikhawatirkan akan menular kepada anak keturunan. Berdasarkan alasan terakhir ini, cacat karen sakit gigi atau rontok rambut ditolak. Dan berdasarkan alasan pertama semua cacat yang diketahui  termasuk cacat yang tidak transparan bagi suami isteri ditolak.[6]

 Hikmah Dalam Kafa’ah

Hikmahnya didalam kafa’ah ini adalah salah satunya yaitu Kunci kebahagiaan hidup suami isteri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan dan kegoncangan rumah tangga. Dalam hisup berumah tangga kita sendiri harus merasa nyaman bersama pasangan yang halal. Selain dari itu juga menjaga kehormatannya si perempuan agar tidak malu dengan pasangannya. Kesetaraan yang dibahas oleh para fuqaha empat mazhab itu sendiri yaitu nasab, profesi, agama dan kondisi yaitu bebas dari cacat yang menyebabkan khiyar, Islam, kemerdekaan, dan harta itu telah menjadi garis panduan untuk kita sebagai umat untuk mengikuti. Terkadang apa yang bisa kita lihat pada masa zaman sekarang. Ada yang menggunakan unsur kafa’ah ini diterapkan dalam kehidupan seharian. Sebagai contoh golongan bangsawan, kadang pihak perempuan malu untuk menikah dengan orang biasa. Jadi dapat kita ambil hikmahnya di sini ialah kafa’ah itu bisa menyelamatkan dari malunya seorang perempuan itu untuk menikah dengan orang biasa dan golongan bangsawan ini bisa menjaga nasab keturunan mereka. Selalunya golongan bangsawan ini lebih menjaga nasab disbanding dengan orang biasa.

Akan tetapi, yang palin utama adalah untuk menjaga terutama dalm unsur umur dan wawasan. Ini adalah karena keberadaannya lebih mewujudkan keharmonisan dan kelanggengan diantara suami isteri. Ketidakberadaan keduanya dapat menimbulkan kekacauan dan perselisihan yang berpanjangn akibat adanya perselisihan sudut pandang, penilaian berbagai perkara dan membahagiakan kedua belah pihak khususnya.

 Menjawab Persoalan Permasalahan

1. Apakah anak hasil zina masuk dalam unsur kafa’ah ?
Jawapan : Anak hasil zina bisa dikaitkan dengan kriteria kafa’ah dalam bentuk nasab. Yang dimaksudkan dengan nasab menurut Imam Hanafi itu ialah hubungan manusia dengan asal-usulnya dari bapak dan kakeknya. Walaupun pada logikanya, anak hasil zina ini selalu tidak diakui oleh pelakunya. Akan tetapi anak hasil zina ini masuk dalam unsur kafa’ah karena ada unsur yang terkait dengan nasab.

2. Apakah ada kriteria lain dalam kriteria enam itu?
Jawapan : Tidak ada kriteria lain karena Para Fuqaha Empat Mazhab telah membatasi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh mereka.

3. Kafa’ah itu dianjurkan dalam perkawinan apa saja?
Jawapan : Pada pendapat saya, kafa’ah itu dianjurkan dalam setiap semua perkahwinan. Ini adalah karena, dalam konsep kafa’ah ini juga penting dalam menjaga keharmonisan rumahtangga diantara suami dan istri. Sedangkan dalam undang-undang juga menyenaraikan kafa’ah sebagai hal untuk mengukur pasangan suami isteri

4. Bagaimanakah perkawinan wanita cantik dan laki-laki tua. Apakah masih bisa dipilih?
Jawapan : masih boleh dipilih. ini adalah kesetaraan itu hak milik si perempuan dan hak wali untuk memilih dan ianya juga harus berbalik kepada wali mujbir si perempuan itu sendiri. Pernikahan itu bisa jadi apabila adanya kerelaan diantara perempuan dan wali itu sendiri.

5. Apakah dasar hukum kafa’ah ?
Jawapan : Kafaah itu disyariatkan atau diatur dalam perkawinan Islam. Namun kerana dalil yang mengaturnya tidak ada yang jelas dan spesifik baik dalam al-Quran mahupun hadis Nabi. Maka kafa’ah menjadi pembicaraan dalam kalangan ulama fuqaha baik mengenai kedudukannya dalam perkawinan maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan kafaah.

6. Apakah kafaah bisa menggugurkan khitbah ?
Jawapan : Ya. Kafa’ah juga bisa menggugurkan khitbah jika syarat dari kriteria itu tidak terpenuhi. Bagi orang yang menggunakan kriteria kafa’ah tersebut untuk memilih pasangan hidup dan jika ada unsur penipuan didalam khitbah itu maka khitbah itu bisa saja gugur. Sebagai contoh, si laki-laki itu mengatakan dia seorang yang kaya dan berpendidikan bagus akan tetapi yang sebenarnya tidak ada pada laki-laki dan ketahuan oleh si perempuan atau si wali yang laki-laki itu berbohong maka dengan sendirinya gugur khitbah tersebut.

7. Jika seorang Sharifah menikah dengan orang biasa. Bagaimanakah kedudukan syarat menurut jumhur ulama ?
Jawapan : Jumhur Ulama menetapkan kriteria kafa’ah dari kedudukan nasab. Dalam masalah ini, jika si wali redha ataupun si perempuan itu redha maka tidak menjadi masalah untuk seorang yang bergelar sharifah menikah dengan orang biasa.

8. Untuk mengetahui penyakit itu apakah sesudah nikah atau sebelum nikah?
Jawapan : Menurut pemahaman saya, untuk mengetahui sesuatu penyakit itu bisa saja sebelum dan selepas nikah. Jika hal penyakit itu tidak bisa terlihat sebelum nikah, bisa saja sesudah nikah. Dan apabila sudah diketahui penyakitnya dalam sesudah nikah. Adalah menjadi keputusan masing-masing untuk meneruskan perkawinan tersebut atau tidak.
  
Kesimpulan

            Kafa’ah hanya dinilai pada saat akad nikah berlangsung dan jika ada sebagian sifat yang berbeda setelah akad nikah. Hal tersebut tidak menjadi masalah dan sedikitpun tidak mengubah kenyataan dan tidak mempenagruhi akad nikah. Karena syarat-syarat nikah berlaku pada saat akad nikah. Misalnya ketika akad nikah si lelaki memiliki pekerjaan bagus, mampu memberi nafkah atau shalih. Tapi keadaannya berubah setelah itu dan pekerjaannya kurang bags, tidak mampu memberi nafkah atau berbuat fasik setelah menikah. Maka akad nikah tetap berlaku seperti sedia kala.[9]

            Yang dijadikan standar dalam penentuan kafa’ah itu adalah status sosial pihak perempuan karena dialah yang akan dipinang oleh laki-laki untuk dikawini. Laki-laki yang akan mengawini paling tidak harus sama dengan perempuan. Seandainya lebih tidak menjadi halangan dan seandainya pihak isteri dapat menerima kekurangan laki-laki tidak menjadi masalah. Masalah timbul kalau laki-laki kurang status sosialnya sehingga dikatakan laki-laki tidak sekufu dengan isteri.

            Menurut agama, pernikahan yang telah sempurna menimbulkan hak-hak hubungan suami isteri, seperti setubuh, kewajipan memberikan nafkah, hak saling mewarisi, dan hukum-hukum lainnya. Menurut agama dikatakan bahwa pernikahan seprti ini hanya dapat diputuskan dengan talak atau kematian. Barangsiapa yang beranggapan boleh memutuskan hubungan pernikahan dengan alasan selain ini, haruslah menunjukkan alasan-alasan yang sah dan dapat dijadikan pegangan di luar ketentuan agama tersebut.[10]


1.      Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, diterbitkan oleh Pena Pundi Aksara, Cetakan Pertama Maret, Tahun 2006.

2.      Sulaiman bin Ahmad bin Yahya al-Faifi, “Ringkasan Fikih Sunnah” , diterbitkan Oleh Beirut Publishing, Cetakan Pertama , Tahun 2014.

3.      Prof. Dr. Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia” , diterbit oleh Kencana Prenamedia Group, cetakan ke-5 Tahun 2014.

4.      Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, diterbit oleh Gema Insani dan Darul Fikir, cetakan pertama Juni , Tahun 2011.

5.      Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibu Rusyd, “Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid” diterbit oleh Pustaka Amani, Jakarta, Cetakan ke-III Februari , Tahun 2007 M.



[1] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia” , diterbit oleh Kencana Prenamedia Group, cetakan ke-5 Tahun 2014.
[2] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, diterbit oleh Gema Insani dan Darul Fikir, cetakan pertama Juni , Tahun 2011.
[3] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, diterbit oleh Gema Insani dan Darul Fikir, cetakan pertama Juni , Tahun 2011.
[4] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, diterbit oleh Gema Insani dan Darul Fikir, cetakan pertama Juni , Tahun 2011.
[5] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia” , diterbit oleh Kencana Prenamedia Group, cetakan ke-5 Tahun 2014.
[6] Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibu Rusyd, “Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid” diterbit oleh Pustaka Amani, Jakarta, Cetakan ke-III Februari , Tahun 2007 M.
[7] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia” , diterbit oleh Kencana Prenamedia Group, cetakan ke-5 Tahun 2014.
[8] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, diterbit oleh Gema Insani dan Darul Fikir, cetakan pertama Juni , Tahun 2011.
[9] Sulaiman bin Ahmad bin Yahya al-Faifi, “Ringkasan Fikih Sunnah” , diterbitkan Oleh Beirut Publishing, Cetakan Pertama , Tahun 2014.
[10] Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, diterbitkan oleh Pena Pundi Aksara, Cetakan Pertama Maret, Tahun 2006.


Maliana Binti Rajalan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, Indonesia

Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah

Fakultas Syariah

No comments:

Post a Comment

Pendidikan Menurut Perspektif Islam

Bagi umat Islam, al-Qur’an berfungsi sebagai penuntun kehidupan menuju jalan yang benar demi memperoleh kebahagiaan di dunia dan di a...